BIARKAN
HATI YANG BERKATA *part7*
Tinta merah melukis senja. Aku benar-benar melihat matahari
terbenam sore ini, saat sang mentari mulai bersembunyi di balik pegunugan yang
hanya bayangannya kulihat, gunung yang berwarna biru dan warna oranye kuning
khas mentari terbenam, lalu cahayanya sempat terlukis berceceran di sekitar
matahari itu. Mungkin kejadian itu hanya berkisar selama satu menit. Cukup
menarik. Namun keindahan matahari terbenam itu tetap tak mampu menghibur
hatiku. Aku tersenyum di depan semua orang, tapi sebenarnya hatiku tak
demikian. Di setiap langkah, dan apapun yang aku lakukan,aku selalu teringat
matahari terbitku. Hal itu begitu mengusik hariku saat ini. Namun kali ini aku
merasakan bukan rasa yang manis yang ku alami hari ini. Hari ini, dia begitu
dingin. Bertemu denganku seperti bertemu dengan orang yang sama sekali tak ia
kenal. Matahari terbitku, kenapa kau berubah menjadi dingin sekali. Kau sangat
tidak cocok jika mejadi matahari terbit hari ini karena matahari terbit itu
hangat bukannya dingin bagai es di kutub utara seperti ini. Aku tidak kenal
matahari terbit yang sedingin ini. Namun memang begitu adanya. Kenapa matahari
terbitku? Kenapa tak kau katakan sebelumnya? Apa susahnya jika mencegahku ikut
dengan teman. Matahari terbitku, kau memang pecemburu yang hebat. Apa yang
harus lakukan? Siapa yang lebih egois did sini? Matahari terbitku, aku bahkan
ingin menangis saat kau perlakukan aku seperti ini.
***
“Wahh... bentuk apa ya pudingnya?”
Matahari terbit, kau mulai mengoceh lagi ya.. kau selalu meneliti apapun yang kau lihat.
Matahari terbit, kau mulai mengoceh lagi ya.. kau selalu meneliti apapun yang kau lihat.
“kura-kura”
“mana ada kura-kura yang berbentuk seperti ini?”
“ada saja.”
“tidak, ini namanya dinosaurus?”
“benarkah?”
Matahari terbitku menarik hidungku. Aku benci jika ia menarik hidungku seperti ini.
Matahari terbitku menarik hidungku. Aku benci jika ia menarik hidungku seperti ini.
“Kenapa tak kau pesan saja es krim yang sama?”
“Kalau beda, kita bisa mencicipi.”
“tapi kita selalu rebutan seperti ini. Hey... lihat bibirmu,
ada es krim di sana. Caramu makan masih belum benar juga ya.”
“kau banyak bicara!”
Hari itu sepulang sekolah, kami menyempatkan diri untuk makan
es krim. Kami memesan dua es krim yang berbeda agar kami bisa saling mencobanya
namun ulah dia selalu ada-ada saja. Es krimnya malah ia colekan hidungku. Dasar
rese’.
“apa kau masih ingat ini?” Tanyanya sambil mengegenggam
tanganku.
“ya... aku selalu mengingatnya, so sweet.”
Dia tersenyum. Lalu kami berbincang-bincang lalu tertawa kecil
dan aku sangat suka dengan matahari terbitku hari ini. Ia begitu hangat dan
menghangatkanku.
***
Aku keluar dari ruang pengembangan diri sore ini. Langit belum
usai juga menumpahkan air matanya, bahkan semakin deras. Lalu kulihat dia
disana, ada matahari terbit disana.
“Aku masih sebal denganmu?”
“Kenapa?”
“Kau menyebalkan!”
Aku tersenyum lalu seperti biasanya, aku selalu tertawa di
depannya.
“Ini untukmu!”
Ia memberikan jaketnya untukku.
“Lalu ku peluk jaket itu. Matahari terbitku, kau tahu? aku
suka jika kau seperti ini. Aku suka jika kau memperhatikanku.
Aku menunggu hujan yang masih saja turun. Lalu ia berada di
sampingku, tatapannya seperti tak bersahabat denganku. Aku dapat menangkapnya
sejak tadi ia bertemu denganku, yang sama sekali tak peduli denganku. Aku tak
suka melihat tatapan itu lalu aku melempar jaket yang barusan ia kasih itu. Aku
bergegas untuk pulang.
Perjalanan pulang begitu menakutkan. Aku seperti dikepung air.
Hujan deras menghampiriku. Aku merasa bahwa hujan ikut memusuhiku. Kutumpahkan
air mata di situ. Hujan, silahkan musuhui aku. Aku memang jahat, untuk apa kau
beteman dengan orang jahat sepertiku. Hatiku begitu sesak. Inilah bagian
tragedi cinta yang amat ku benci. Aku hafal betul dimana cinta membuat hatiku
merasa sesak dan begitu menyakitkan. Aku memang seorang wanita yang lemah dan
bodoh namun bukan berarti aku semakin dilemahkan seperti ini.
Hujan semakin menangkapku, aku basah kuyup. Badanku terasa
lemas dan kepalaku pening. Tak kan mungkin aku beri tahukan hal ini kepada
matahari terbitku, ia sedang membenciku hari ini. Jika aku beri tahu, mungkin
ia juga tak kan memperdulikanku jadi ya percumah saja. Itu akan semakin membuat
suasana hatiku menjadi buruk. Aku memang salah atas semua hal, kau yang
benar. Mengapa kau benar? Dan aku selalu
salah?? Matahari terbitku, marahlah sesukamu. Aku masih di sini, menunggumu
sampai kau menjadi hangat kembali.
0 komentar:
Posting Komentar