Blogger Widgets

Selasa, 12 Februari 2013

Biarkan Hati Berkata part 7


BIARKAN HATI YANG BERKATA *part7*


Tinta merah melukis senja. Aku benar-benar melihat matahari terbenam sore ini, saat sang mentari mulai bersembunyi di balik pegunugan yang hanya bayangannya kulihat, gunung yang berwarna biru dan warna oranye kuning khas mentari terbenam, lalu cahayanya sempat terlukis berceceran di sekitar matahari itu. Mungkin kejadian itu hanya berkisar selama satu menit. Cukup menarik. Namun keindahan matahari terbenam itu tetap tak mampu menghibur hatiku. Aku tersenyum di depan semua orang, tapi sebenarnya hatiku tak demikian. Di setiap langkah, dan apapun yang aku lakukan,aku selalu teringat matahari terbitku. Hal itu begitu mengusik hariku saat ini. Namun kali ini aku merasakan bukan rasa yang manis yang ku alami hari ini. Hari ini, dia begitu dingin. Bertemu denganku seperti bertemu dengan orang yang sama sekali tak ia kenal. Matahari terbitku, kenapa kau berubah menjadi dingin sekali. Kau sangat tidak cocok jika mejadi matahari terbit hari ini karena matahari terbit itu hangat bukannya dingin bagai es di kutub utara seperti ini. Aku tidak kenal matahari terbit yang sedingin ini. Namun memang begitu adanya. Kenapa matahari terbitku? Kenapa tak kau katakan sebelumnya? Apa susahnya jika mencegahku ikut dengan teman. Matahari terbitku, kau memang pecemburu yang hebat. Apa yang harus lakukan? Siapa yang lebih egois did sini? Matahari terbitku, aku bahkan ingin menangis saat kau perlakukan aku seperti ini.

***
“Wahh... bentuk apa ya pudingnya?” 
Matahari terbit, kau mulai mengoceh lagi ya.. kau selalu meneliti apapun yang kau lihat.
“kura-kura”
“mana ada kura-kura yang berbentuk seperti ini?”
“ada saja.”
“tidak, ini namanya dinosaurus?”
“benarkah?”
Matahari terbitku menarik hidungku. Aku benci jika ia menarik hidungku seperti ini.
“Kenapa tak kau pesan saja es krim yang sama?”
“Kalau beda, kita bisa mencicipi.”
“tapi kita selalu rebutan seperti ini. Hey... lihat bibirmu, ada es krim di sana. Caramu makan masih belum benar juga ya.”
“kau banyak bicara!”
Hari itu sepulang sekolah, kami menyempatkan diri untuk makan es krim. Kami memesan dua es krim yang berbeda agar kami bisa saling mencobanya namun ulah dia selalu ada-ada saja. Es krimnya malah ia colekan hidungku. Dasar rese’.
“apa kau masih ingat ini?” Tanyanya sambil mengegenggam tanganku.
“ya... aku selalu mengingatnya, so sweet.”
Dia tersenyum. Lalu kami berbincang-bincang lalu tertawa kecil dan aku sangat suka dengan matahari terbitku hari ini. Ia begitu hangat dan menghangatkanku.

***
Aku keluar dari ruang pengembangan diri sore ini. Langit belum usai juga menumpahkan air matanya, bahkan semakin deras. Lalu kulihat dia disana, ada matahari terbit disana.
“Aku masih sebal denganmu?”
“Kenapa?”
“Kau menyebalkan!”
Aku tersenyum lalu seperti biasanya, aku selalu tertawa di depannya.
“Ini untukmu!”
Ia memberikan jaketnya untukku.
“Lalu ku peluk jaket itu. Matahari terbitku, kau tahu? aku suka jika kau seperti ini. Aku suka jika kau memperhatikanku.
Aku menunggu hujan yang masih saja turun. Lalu ia berada di sampingku, tatapannya seperti tak bersahabat denganku. Aku dapat menangkapnya sejak tadi ia bertemu denganku, yang sama sekali tak peduli denganku. Aku tak suka melihat tatapan itu lalu aku melempar jaket yang barusan ia kasih itu. Aku bergegas untuk pulang.
Perjalanan pulang begitu menakutkan. Aku seperti dikepung air. Hujan deras menghampiriku. Aku merasa bahwa hujan ikut memusuhiku. Kutumpahkan air mata di situ. Hujan, silahkan musuhui aku. Aku memang jahat, untuk apa kau beteman dengan orang jahat sepertiku. Hatiku begitu sesak. Inilah bagian tragedi cinta yang amat ku benci. Aku hafal betul dimana cinta membuat hatiku merasa sesak dan begitu menyakitkan. Aku memang seorang wanita yang lemah dan bodoh namun bukan berarti aku semakin dilemahkan seperti ini.
Hujan semakin menangkapku, aku basah kuyup. Badanku terasa lemas dan kepalaku pening. Tak kan mungkin aku beri tahukan hal ini kepada matahari terbitku, ia sedang membenciku hari ini. Jika aku beri tahu, mungkin ia juga tak kan memperdulikanku jadi ya percumah saja. Itu akan semakin membuat suasana hatiku menjadi buruk. Aku memang salah atas semua hal, kau yang benar.  Mengapa kau benar? Dan aku selalu salah?? Matahari terbitku, marahlah sesukamu. Aku masih di sini, menunggumu sampai kau menjadi hangat kembali.

0 komentar:

Posting Komentar