Blogger Widgets

Minggu, 03 Februari 2013

Biarkan Hati Berkata Part 6


Biarkan Hati yang Berkata *part6*
Aku tetaplah aku, gadis biasa yang tak ubahnya hanya seperti ini. Ku temukan duniaku, dunia baruku sekarang. Aku jarang sekali bercengkrama dengan teman, bahkan jika aku bercengkrama atau berada di tengah-tengah keramaian aku tetap merasa sendiri, sepi dan itu sungguh menyakitkan. Namun itu dulu jauh disaat aku belum mengenal lelaki itu, memang pada hakikatnya bukan ia yang merubah duniaku. Namun dirikulah yang bersedia menerima kehadirannya lalu mulai kuperbaiki duniaku, dunia sepiku.
Baiklah, sekarang akan kunamai lelaki itu. Lelaki yang menyita perhatianku itu. Lelaki yang baru ku kenal 5bulan yang lalu itu. Dia ku namai matahari terbit. Kenapa demikian? Ia selalu membuat hari-hariku menjadi pagi selamanya. Cahayanya adalah cahayaku. Aku memiliki cahaya tapi cahaya itu tak bersinar jika tanpanya. Ia yang mengakhiri malamku selama ini, sebelumnya aku merasa duniaku gelap, hitam dan itu ku anggap malam. Tapi ia datang hadirkan segenap sinarnya, menawarkan aku melihat sinarnya, menyuruhku menikmati cahayanya. Dulu malam yang gelap itu kini menjadi pagi yang hangat. Aku tak menyangka ada matahari terbit sebaik dia. Dialah matahari terbitku, tidak boleh ada yang merebut matahari terbitku, matahari terbit yang hanya milikku. Cahayanya hanya untukku. Cahaya yang tak kan pernah lelah menyinariku sekalipun dunia menutup matanya dan matahari sesungguhnya hilang memenuhi panggilan ilahi. Namun sekalipun aku tak dapat melihat matahari yang sebenarnya, yang ku inginkan hanyalah melihat matahari terbitku. Sampai nanti, sampai aku tak mampu bernafas lagi.
***
Menyedihkan sekali menjadi gadis sepertiku. Kau tahu aku? Jika kau ingin tahu, maka kuharap kau tak kan lelah membaca tulisanku. Aku adalah gadis yang selalu menuliskan dunia-duniaku lewat lembaran-lembaran putih. Dunia nyataku, maupun dunia khayalku. Dunia yang kubuat sendiri, lalu kuizinkan orang lain menikmati duniaku, masuk kedalamnya. Entah mereka suka atau tidak, namun tetap ku izinkan mereka berkata apapun. Menyukai, memuji bahkan mencemooh kerap sekali aku mendengarnya. Aku memang bukan seorang penulis, namun kata “penulis” begitu lekat dalam hatiku, terngiang selalu dalam otakku. Aku memang suka menulis, tapi sayang aku bukan penulis. Bahkan jika pantas atau tidak aku menjadi seorang penulis, aku pun tak tahu. Mana ada penulis yang buruk sekali menumpahkan alur cerita dalam balutan kata-kata indah? Mana ada??? Hah? Bahkan jika kau cari dalam novel-novel dengan penulis ternama tak kan ada yang menumpahkan alur cerita seburuk diriku. Aku ingin sekali berteriak, bahkan duniapun juga ingin kuteriaki. Ku mohon dunia, berilah aku tempat untuk menuangkan karyaku, agar dia yang menjatuhkan karyaku itu tahu bahwa aku masih berhak kau terima. Bahwa kau masih tersenyum membaca tulisanku. Dan dia, matahari terbitku yang selalu ku suruh membaca tulisanku, aku tak tahu dia terpaksa atau tidak membacanya. Aku tak mengerti di dalam hatinya ia berkata buruk atau istimewa namun yang aku tahu setap kali ia usai membaca tulisanku, ia selalu tersenyum dan mengatakan bahwa karyaku tak buruk. Teruslah menulis. Begitu katanya. Matahari terbitku, kali ini aku ingin menulis tentangmu. Bolehkah? Ku mohon.
***
Sore ini, langit membasahi bumi lagi. Titik-titik airnya masih jelas kulihat. Aku bersandar di dinding, sendirian. Menatinya. Matahari terbitku... kapan datang? Aku hampir lelah menunggumu. Kenapa kau tak datang juga. Apa kau tega membiarkanku terseungkur sendirian di sini, ditemani hujan yang suaranya hanya itu-itu saja kudengar. Kau bilang tak kan lama lagi tapi mengapa aku tak kunjung melihat hidung besarmu itu. Bahkan aku hampir tertidur karena menunggumu. 
“maaf sudah menungguku lama.” Matahari terbitku mendekat setelah sekian lama aku menunggunya.
“bukan lama, tapi lamaaaa sekali.”
“hehehe, kau bahkan sampai terkantuk-kantuk.”
Aku mendengus kesal.
“ayo, aku antarkan kau pulang.”
Aku tersenyum, lalu hinggap diboncengannya.
***
Siang ini adalah siang yang tak seperti biasanya, siang yang sengaja kita buat. Matahari terbitku mengatakan bahwa aku dengannya harus membuat kenangan. Aku tak mengerti kenangan apa yang ia maksut. Ia tak pernah mengatakan membuat kenangan denganku, tapi ku lihat matanya. Dan berdasarkan penglihatanku, matanya berkata demikian. Inilah kenangan yang sengaja kita buat. Dan coba lihat nanti, apakah jadi kenangan indah atau justru sebaliknya. Namun dimataku, hari ini harus menjadi kenangan indah, entah sebenarnya indah atau tidak. Namun jika bersama matahari terbitku, harus dan wajib menjadi kenangan indah. Akankah menjadi cerita menyenangkan?
Dingin bernuansa embun menghampiri kita berdua, kabut tebal ikut menyelimutinya. Aku tak kuat menahan dingin yang terasa, seperti di kutub utara saja. Tapi aku tak mampu hidup jika aku benar berada di sana tanpa matahari terbitku. Aku meliriknya, bahkan jika ada matahari terbit tepat di sampingku ini. Tetap saja dingin. “Pegang tanganku” katanya. Aku meraihnya dengan ragu. Ia genggam bahkan erat sekali ia genggam tanganku. Tapi sekalipun tangan kami saling menggenggam dengan telapak tangan yang sama-sama dingin tetap saja dingin. Namun matahari terbitku berkata, tanganku akan menghangatkanmu. Aku percaya itu. Aku tak tahu sampai kapan tangan kami tetap menggenggam tapi yang ku tahu dingin tetap saja menyerang kami berdua. Tapi tunggu sebentar, kami berdua??? Aku rasa di sini banyak orang. Ah.. malas sekali menggubris banyak orang. Entah banyak, sedikit, atau bahkan tak ada orang sama sekali. Tempat ini, waktu ini, suasana ini dan cerita ini hanya milikku, milik matahari terbitku juga. 
“Kau tahu mengapa manusia ditakdirkan memiliki telapak tangan yang bersela, tidak utuh dan setiap sela yang tercipta menjadikannya jari?”
Aku menggeleng.
“Setiap sela yang tercipta ini harus di isi, berikatan lalu menjadikannya utuh”
Ia meraih telapak tanganku, memasukkan jemarinya ke sela-sela jariku.
“Seperti ini.” Katanya
Aku hanya terdiam, menatapnya. Manis sekali kata-kata itu terdengar. 
***
Matahari terbitku, kau bukanlah hanya sekedar matahari terbtitku saja namun kau adalah pelukisku juga. Kau melukiskan tawa, bahagia, sedih, dan tangis. Jika kau adalah pelukisku, maka aku adalah kanvasmu. Teserah padamu, kau ingin mencoret goresan apa saja. Aku tetap di sini, menjadi kanvas yang siap kau lukis. Jika kau melukiskan kebahagiaan, maka kanvasmu ini akan tertawa berterimakasih kepadamu. Jika kau melukiskan kesediahan, maka izinkan kanvasmu ini menangis. Lukiskanlah semua warnamu pada diriku, diriku yang siap menjadi kanvasmu. Buatlah pelangi, matahari, bintang-bintang atau bahkan langit yang mendung atau bidadari tercantikmu. Lalu warnailah sesuka hatimu, aku tetap di sini menjadi kanvas putih yang takkan menolak untuk kau warnai.
“Bolehkah aku membisikkan sesuatu padamu?”
Aku mengangguk
Lalu ia dekatkan mulutnya tepat ditelingaku. 
“ukhibuki”
Aku terperanjat, menoleh ke arahnya. Terdiam. Kata itu mampu membiusku begitu saja. Ku tatap matanya, mata kami bertemu. Bola mataku sudah mampu mewakili jawaban dari kata itu untuknya. Aku tahu diapun dapat membacanya namun tidak adil rasanya jika tak ku balas dengan ucapan juga.
“ukhibuka aidhon”
Matahari terbitku tersenyum, aku juga tersenyum, kami tersenyum. Hari ini telah kau lukiskan warna merah jambu dikanvasmu, lalu warna apa lagi yang kau torehkan untukku esok dan nanti? Akumenunggunya.

0 komentar:

Posting Komentar